Kamis, Desember 13, 2007

Supir Angkot

Supir Angkutan Kota

Pembaca pasti tahu yang namanya angkot. Itu loh, singkatan dari angkutan kota. Di Medan sangat banyak yang namanya angkot. Bahkan, dimana-mana ada angkot. Demikian juga kota-kota lain. Masing-masing kota atau daerah punya nama angkot sendiri. Biasanya, angkot-angkot tersebut adalah milik sebuah perusahaan. Misalnya berbentuk CV, UD, dan lainnya. Di beberapa daerah, angkot-angkotnya adalah milik pribadi dan tidak bergantung pada perusahaan manapun. Seperti di Irian, misalnya. Angkot-angkot di beberapa daerah sana adalah milik pribadi supirnya dan dinamai sesuai keinginan pemiliknya.

Di Medan, ada berbagai macam angkot. Contohnya ; CV. Nitra, UD. Mabar Jaya, UD. Mekar Jaya, CV. Karya Sari dan masih banyak lagi. Sedangkan rute angkot-angkot ini didasarkan pada nomornya. Misal, Nitra 06 mengambil rute Amplas-Tanjung Sari, Medan. Sedangkan Nitra 64 mengambil rute Amplas-Pingang Baris.

Nah, apa yang akan aku ceritakan disini adalah supir angkotnya. Aku sering menggunakan jasa angkutan yang satu ini jika pulang kampung ke rumah orang tuaku. Dan, itu sangat membosankan karena harus menempuh perjalanan selama kurang lebih 5 jam. Aku biasa pulang petang hari, saat panas kota Medan masih sanggup membakar kulit. Aku, sebenarnya tidak suka pulang kampung. Alasan pokoknya adalah karena naik angkot ini. Lainnya, aku tidak tahu untuk apa aku pulang kampung.

Karena terpaksalah aku harus pulang. Biasanya itu karena orang tua, khususnya ibuku memberi maklumat agar pulang disertai ancaman : kalau tidak pulang, uang bulananku tidak akan dikirim. Maklumlah, anak kos.

Biasanya, supir-supir angkot adalah laki-laki, walau ada juga yang perempuan. Pendapatan supir angkot tidaklah besar. Rata-rata dari mereka cuma bisa mendapatkan 100-150 ribu rupiah dalam satu hari. Itu setelah dikurangkan biaya bahan bakar, uang rokok dan uang adminstrasi di stasiun ataupun terminal angkutan umum. Dalam beberapa kasus, supir angkot bahkan cuma bisa mendapatkan di bawah 100 ribu sehari.

Sopir-sopir angkot nantinya akan menyetor kepada perusahaan tempat ia menyewa mobil angkutan itu. Maksudnya kepada pemilik kenderaan tersebut. Besarnya setoran ini tergantung kesepakatan supir dan pemilik kenderaan. Ada juga beberapa supir angkot adalah pemilik kenderaan itu juga. Jika begitu, pendapatannya akan lebih besar sedikit dibandingkan supir-supir angkot yang menyewa kenderaan lainnya.

Teringatlah aku akan beberapa kejadian yang kualami di atas angkot. Aku paling suka duduk di kursi depan, dekat dengan supirnya. Walau aku tak pernah memulai percakapan dengan sang supir. Tetapi, aku memang memperhatikan gejala-gejala yang terjadi dan berusaha menghindari kontak dengan penumpang lain. Jangan salah loh! Di atas angkot sering terjadi penipuan berujung pencurian. Kalau kita tidak hati-hati dan waspada, barang-barang seperti cincin, kalung, anting, hp bahkan dompet bisa raib diambil pencuri yang sengaja menyamar menjadi penumpang biasa. Itu kasus yang sering terjadi di Medan.

Jadi, saat aku duduk di samping Pak Supir, aku memperhatikan ekspresinya yang jarang ceria. Tapi, entahlah ya. Aku tak tahu dengan supir-supir angkot di daerah lain. Supir-supir angkot Medan jarang yang ceria. Kalaupun ada, kebanyakan mereka masih lajang dan belum mempunyai tanggungan. Jika supirnya adalah orang tua, rata-rata kening mereka berkerut dan mata sayu. Pastinya mereka pusing memikirkan pendapatan yang sedikit dan setoran kepada bos-nya. Apalagi terjadi kerusakan hingga mengharuskan supir membawa angkot ke bengkel. Sudah uang keluar, harus pula berhenti narek selama perbaikan.

Jadi, aku menaruh prihatin terhadap supir-supir angkot. Betapa tidak? Mereka mesti menghidupi keluarganya. Menyekolahkan anak-anaknya dengan pendapatan yang menurutku minim itu. Kadang, mereka curhat kepada penumpang yang duduk di sampingnya. Dan suatu kehormatan buatku bisa mendengarkan keluh-kesah sang supir. Karena, memang itulah yang kutunggu-tunggu tanpa bisa memulai menanyakannya.

Sekali waktu supirnya kesal karena sewa/ penumpang sepi. Ia baru mendapatkan uang yang cukup untuk setoran saja. Katanya, “Kalau terus-terusan begini apa yang kubawa ke rumah”. Menyedihkan. Yang paling menarik adalah sikap penumpang yang memberikan ongkos kurang dari tarif sebenarnya. Memang, kekurangannya adalah 500 rupiah. Betapa, menyedihkan. 500 rupiah! Sampai-sampai sang supir meminta lagi, “Bu, kurang gopek,” serunya. Sialnya, sang penumpang ngotot bertahan dengan ongkos segitu besar. Dengan alasannya ia berkata, “Biasanya segitunya,” atau ada yang membalas, “Ah, dari sananya tadi! Masa dari sana aja ongkosnya dua ribu?”

Lalu, apa yang terjadi? Beberapa supir angkot malah lebih ngotot lagi. Mereka bilang,”Memang segitunya ongkosnya. Ibu aja yang tetap bayar dua ribu,” atau “Ah, kurang gopek lagi. Sampe sananya baru dua ribu, kalo sampe sini dua setengah.” Kejadian ini sangat konyol. Masing-masing berusaha mendapatkan pendapatan dan tak mau dirugikan. Walau ada juga supir yang mengalah dan melanjutkan pekerjaannya. Tetapi, aku lebih bersimpati terhadap supir-supir angkot. Buatku, memberikan ongkos lebih pada mereka tidak ada salahnya. Apalagi, kenyataannya kita sebagai penumpang mempunyai uang lebih. Apa salahnya berbagi. Kasihan supir-supir angkot itu yang harus membayar setoran kepada perusahaan angkutan umum dan harus juga menyetor ke rumah tangganya.

Pernah sekali waktu, aku menaiki angkot yang supirnya malah curhat padaku. Ia menceritakan susahnya berhadapan dengan penumpang yang pelit. Lalu, dengan santai ia mengatakan, “Beginilah susahnya cari duit. Adek mahasiswa ya? Rajin-rajin belajar, ya!”Aku tersenyum menanggapi nasehatnya. Sambil membayar ongkos, aku berkata, “Bekerja dan berdoa, Bang. Makasih.”

Sekali waktu aku naik angkot waktu mau kembali ke warnet. Supirnya mengajak cerita tentang kemacetan di jalan raya sampai 2 jam. Lalu, alih-alih aku menanyakan berapa pendapatannya per hari. Dengan tertawa dia mengatakan kalau pendapatannya cukup buat makan. Lalu, aku menanyakan lagi tentang penumpang yang bagaimana membuatnya sering kesal. Taunya dia menjawab kebanyakan adalah anak sekolah. Lho? Kok bisa?

Terkadang para pelajar juga memanfaatkan statusnya sebagai pelajar atau lazim disebut anak sekolah. Dalam konsepnya, ongkos anak sekolah tidak sama dengan orang dewasa. Katakanlah ongkos mereka bisa lebih murah 50% dari ongkos orang dewasa. Orang dewasa dalam hal ini adalah penumpang yang tidak mengenakan seragam sekolah. Nah, permasalahan yang membuat supir angkot itu kesal adalah penumpang atau anak sekolah yang naik angkot dengan mengenakan seragam sekolah tetapi di saat bukan jam sekolah. Wah, gimana tuh. Bapak itu bilang, anak sekolah ini memanfaatkan statusnya sebagai anak sekolah. Padahal, nyatanya mereka pergi ke tempat lain, bukannya ke sekolah. “Makanya, Awak marahinya kalo ada anak sekolah kek gitu. Janganlah karena anak sekolah malah manfaatkan statusnya? Gimana kek gitu kalo udah besar? Hm,.” Kata supir angkot itu.

Kadang,” lanjutnya, ”Sebagian supir ini takut ngga dapat sewa (penumpang). Jadi, mereka nerima aja berapa ongkos yang dikasi sewanya.Walaupun itu udah dibawah tarif yang ditentukan. Pas, sewanya itu naik angkot awak, Ya awak minta sesuai tarif. Jadi, sewa itu protes, kok segitu, Bang? Aturannya kan seribu? Sewa itu mana peduli sama aturan. Per estafet kan udah ditentukan bayar 3000. Kkalo anak sekolah 2000 atau satu setengah. Masa awak dikasi seribu? Kan udah ngga pantas lagi. Terakhirnya, diingatnyalah angkot awak. Besok-besok ngga mau lagi orang itu naik. Kan udah berat!” jelasnya.

Wah, kalau begini, kehidupan supir angkot sulit menuju sejahtera. Bayangkan, anak sekolah saja yang semestinya punya rasa iba, moral yang baik malah melakukan pemanfaatan status itu.Satu hal lagi, banyak penumpang yang tidak atau lupa mengucapkan terima kasih kepada supir angkot yang terlah mengantarnya sampai tujuan yang diminta. Budaya apa itu? Menyedihkan.

1 komentar:

go_free mengatakan...

thanks dah mampir blog ku ya - http://market-internet.com