Sabtu, November 03, 2007

Sedikit Tertawaan

DRAKULA PALING GANAS

Di atas sebuah bukit berkumpullah tiga drakula hampir tengah malam untuk sebuah perlombaan. Mereka sepakat untuk menunjukkan siapa drakula yang paling ganas memangsa manusia sebanyak-banyaknya. Drakula yang paling muda di antara mereka mulai bersiap-siap. Kemudian pergilah ia menuruni bukit dengan cepat. Lalu kembalilah ia setelah selang 30 menit. Saat ia kembali keadaannya mengerikan dengan tetesan darah di mulut dan kuku-kuku tangannya.

“Bagaimana?” Tanya kedua drakula yang tinggal di atas bukit tadi.

“Kalian lihat desa itu?” Tunjuk drakula itu ke arah selatan.

“Iya. Kenapa rupanya dengan desa itu?” Tanya temannya mengangguk-angguk.

“Desa itu, habis kubuat!” Jawabnya dengan bangga.

Lalu, drakula lebih tua pun tidak mau kalah. Ia segera bergegas dan terbang dengan cepat menuruni bukit. Kira-kira 15 menit ia kembali dengan tangan berlumuran darah serta mulutnya yang masih menyisakan darah segar. Lalu katanya,

“Kalian lihat kota di sebelah Timur itu?”

“Iya. Kenapa? Kenapa?” Tanya drakula yang lain.

“Kota itu, HABISSS..!!!” Jawabnya dengan bangga.

Tentu saja drakula yang paling tua tidak mau kalah. Ia segera terbang tanpa menunggu lagi. Tapi, baru 1 menit pergi, ia sudah kembali dengan wajah berlumuran darah hingga bagian dadanya. Kedua drakula sebelumnya berkata dalam hati, pastilah drakula ini paling hebat. Belum beberapa menit ia sudah kembali dengan hasilnya. Mereka berdua terkagum-kagum dengan kehebatan drakula yang paling tua itu.

“Kalian lihat tiang listrik di situ?” Tanya drakula yang barusan kembali itu.

“Lihat. Kenapa dengan tiang listrik itu?” Tanya kedua drakula lain terheran-heran dan penasaran.

“Sialan. Aku kaga lihat.”

KECELAKAAN

Suatu ketika terjadi sebuah kecelakaan antara sebuah truk dan bus. Seorang anak kecil menjadi saksi atas peristiwa itu. Lalu, ia mengambil inisiatif untuk menelpon polisi dari telepon umum.

“Halo, Pak Polisi.”

“Halo juga.”

“Saya mau lapor, Pak!” Katanya melalui telepon umum.

“Mau lapor apa?”

“Telah terjadi kecelakaan lalu lintas antara bus dengan truk, Pak.”

“Apa? Dimana?”

“Di jalan raya Kota si Embel-Embel, Km 10, Pak!”

“Bisa anda ceritakan bagaimana keadaannya disana saat ini?”

“Oh, tentu, Pak. Bus datang dari arah Timur dengan kecepatan tinggi. Sebuah truk melaju di arah yang berlawanan. Lalu kedua mobil itu bertabrakan. Akibatnya timbul korban jiwa, Pak. 1 orang meninggal dunia, 2 orang luka-luka parah, 3 orang luka-luka ringan, 4 sehat 5 sempurna.”

ANAK KETUJUH.

Seorang anak kecil berumur 5 tahun datang ke sebuah kedai dan membeli gula-gula.

“Bang, beli gula-gula 1 ons!” Kata anak kecil itu. Si penjual segera mengambilkan pesanan anak kecil itu. Ternyata gula-gula itu berada di atas rak yang cukup tinggi sehingga tidak bisa diambil hanya dengan bantuan kursi saja.

Si penjual pergi ke gudang di belakang rumah untuk mengambil tangga dari bambu. Kemudian ia menurunkan stoples gula-gula itu, menimbangnya dan memberikan kepada si anak. Setelah pembayaran, si penjual menaikkan stoples itu kembali ke tempatnya, turun dari tangga, mengembalikan tangga itu ke gudang. Kemudian ia melanjutkan aktivitasnya : mengisi TTS.

Tak lama kemudian seorang anak kecil perempuan datang.

“Bang, beli gula-gula 1 ons.” Katanya dengan lucu. Lalu, si penjual pun mengambil tangga ke gudang, menurunkan stoples, menimbang gula-gula dan memberikannya kepada anak kecil itu. Setelah pembayaran dilakukan, si penjual pun mengembalikan stoples dan tangga ke tempat semula. Lalu kembali ke kursinya.

Datang lagi seorang anak kecil,

“Bang, beli gula-gula 1 ons.”

Si penjual pun melakukan hal yang serupa untuk beberapa kali. Datang anak keempat, kelima dan keenam secara berganti-gantian. Tentu saja ia lelah melakukan hal itu terus. Merasa dipermainkan oleh anak kecil, si penjual sengaja memegang stoples gula-gula itu dan menunggu anak kecil ketujuh datang membeli gula-gula.

Lalu anak ketujuh yang kira-kira seumuran dengan anak-anak sebelumnya datang. Si penjual langsung membentak si anak,

“Heh! Kamu mau beli gula-gula 1 ons, kan?!” Sergapnya. Si anak ketakutan. Lalu ia menggeleng.

“Ngga, Bang..” Katanya pelan karena takut dengan wajah si penjual. Si penjual gula-gula itu menghela nafas lega.

“Syukurlah. Kamu tunggu disini yah!” Katanya sambil mengembalikan stoples gula-gula itu ke tempatnya semual. Tangga itu juga sudah dikembalikan ke gudang. Lalu ditanya anak itu,

“Huh, jadi kamu mau beli apa?”

“Gula-gula setengah ons.” Jawab anak itu polos.

ANAK KECIL

Seorang anak laki-laki sedang berbincang-bincang dengan neneknya di rumah sakit sambil.

“Sekarang kamu udah punya adik baru. Siapa namanya?”Tanya si nenek.

“Aku ngga tahu, Nek. Abis, dia belum bisa ngomong sih!” jawab anak itu polos.

“Nek, untung ya aku ngga lahir di Inggris.” Kata anak kecil itu kemudian.

“Kenapa?”

“Aku ngga bisa bahasa Inggris.”

Jumat, November 02, 2007

Tentang Sinetron Indonesia

Ini adalah tanggapan tentang dunia entertainment di tanah air. Khusus buat sinetron yang kita tahu semakin hari semkain marak jadwal penayangannya maupun jumlah judulnya.
Saya punya sisi lain dalam menanggapi sinetron di layar kaca yang ditonton berjuta-juta penduduk di Indonesia. Seluruh pelosok tanah air kita. Dan, jangan salah : Sinetron adalah tontonan menghibur buat mereka yang lelah bekerja seharian dan ingin menikmati waktu senggang sejenak baik di rumah maupun tempat lain.
Mengenai kualitas sinetron. Ini terang saja mengecewakan dari sudut pandang saya. Bagaimana tidak mengecewakan! Demi memuaskan keinginan pemirsa akan sebuah tontonan yang menghibur atau dapat menghilangkan kepenatan kerja, para artis kita dengan senang hati membintangi sinetron-sinetron yang saya anggap kurang bermutu.
Kenapa saya bisa berkata seperti itu? Ini berdasarkan apa yang saya lihat sendiri. Jujur saja, kalau saya bukan maniak sintron seperti ibu saya atau para tetangga yang sibuk membicarakan sinetron yang ditontonnya tiap hari Rabu, misalnya. Dalam segi lain, mereka merasa terhibur dan ikut terbawa oleh suasana sinetron yang mereka tonton. Tapi, di sisi lain, tontonan yang ala kadarnya dan dibuat-buat seperti itu tidak mencerdaskan mereka.
Kita berbicara tentang tema dari sebuah sintron. Cinta, perselingkuhan, konflik-konflik keluarga hingga merambat ke anak-cucu selalu menghiasi layar kaca Indonesia. Sungguh mengecewakan bagi saya mengingat banyak pemirsa yang berumur 15-30 tahun. Bahkan anak sekolah dasar ikut-ikutan menonton sinetron seperti itu.
Di sini saya tidak mengomentari pihak stasiun televisi bersangkutan tentang memberikan penjelasan untuk siapa sinetron itu ditayangakan. Ini mutlak tentang persepsi saya tentang sinetron di Indonesia.
Kadang, saya juga menonton sejenak. Tapi, begitu melihat - maaf - jalan ceritanya begitu membosankan. Yang terjadi dalam sinetron jelas-jelas fiktif. Sesuatu yang jarang dan hampir tak pernah terjadi. Contoh, adakah ular raksasa yang bisa melayang dan berkelahi dengan sengit serta mengeluarkan sinar-sinar laser dari matanya? Ini sungguh tak masuk akal dan merupakan pembodohan bagi mereka yang menonton.
Dalam sinetron tema kehidupan sosial, tentang kecemburuan yang berujung dengki, dendam dan perselisihan. Sesuatu yang dilakukan para pemain sinetron tersebut sangatlah tidak masuk akal dan berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa para pembuat sinetron tak mampu membayangkan kejadian apa yang sebenarnya ada saat suatu konflik terjadi. Dimana kemampuan imajinasi mereka?
Segala macam properti yang ditampilkan dalam syuting sebuah sinetron menjadi suatu alat promosi dan membuat para pemirsa menginginkannya juga. Saya menjunjung arti dan pembelajaran dari sebuah sinetron maupun film yang saya tonton. Jika, saya rasa itu tidaklah bermanfaat - dalam segi wawasan - jujur saja, saya tidak menyukainya.
Meremehkan? Bukan! Saya hanya ingin ada sebuah kemajuan dalam industri intertainment di Indonesia. Kita bisa belajar dari negara-negara lain yang bisa membayangkan, dan membuat sebuah cerita dalam sinetron maupun film menjadi sesuatu yang - sepertinya kita juga bisa merasakan kejadian yang serupa serta mengambil tindakan yang sama. Mereka mampu mengaplikasikan tindakan-tindakan wajar manusia ke dalam sebuah karya. Tidak seperti tindakan-tindakan di luar pikiran manusia dan asal-asalan demi membuat pemirsa terkagum.
Industri perfilman dan sinetron merupakan alat hiburan buat pemirsa dan juga sebuah wadah pembelajaran bagi pola pikirnya. Anak SD bisa menjadi seperti anak SLTP saat melihat aksi artis kesukaannya di sinetron.
Kalau, kita bisa melihat gejala ini, kenapa kita tidak berusaha lebih mencerdaskan mereka daripada sekedar menghibur semata?
Saya suka menonton dan suka memilih. Itu lebih mencerdaskan pemikiran dibanding tertawa akan suatu hal yang konyol : ciri-ciri sinetron kita.